UPAYA MERETAS POLA BARU
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
DALAM
PEMERINTAHAN NEGRA ISLAM
KONTEMPORER
Oleh : H.Saiful Islam,Lc.,M.Hum.
Dalam dimensi ilmu pengetahuan
moderen Negara Islam Madinah pada masa pemerintahan pertama Kedaulatan Nubuwwah
dan pemerintahan selanjutnya Khilafah Nabawiyah Rasyidah, adalah seperti
umumnya negara negara yang ada di dunia, berada dalam batasan dimensi sekularitas
ruang dan waktu, meliputi instrumen formal legal dari ummat manusia sebagai
rakyatnya, wilayah tertentu sebagai geo-aktual
otonominya dan pemerintahan yang berdaulat sebagai penyelenggara serta mendapat
pengakuan dari luar.
Adalah suatu Kebenaran Hukum
Mutlak bahwa Negara Islam Madinah real adanya, memiliki kekuatan hukum suprem
sebagai sebuah fenomena Negara Islam berdaulat dan otonom, bersifat abadi, dan
elastis, dan menjadi Paradigma Tunggal Hasanah yang dikukuhkan langsung oleh
Allah swt. dari langit sebagai landasan yuridis formal Rabbani.(QS.33/21-27).
Yang menjadi keunikan negara ini adalah
kedaulatannya. Sebagai satu fenomena transendental ia berbeda dengan kedaulatan
dan sistem otonomi negara negara lain. Berdasarkan hasil temuan eksplorasi
sejarah, kedaulatan negara ini adalah Kedaulatan Agama Islam Kaffah (total),
meliputi segala betuk dan sistem yang ada di dalam Islam, mulai dari masalah: hukum,
administrasi, politik, ekonomi dan
sistem mu`amalat praktis lainnya. Bahkan mencakup pula tertib aturan hukum
perang dan damai dan segala yang berhubungan dengan urusan dengan dunia
sekalipun.
Bentuk institusinya adalah
Negara Komunal Kesatuan, pemerintahannya dijalankan oleh seorang kepala negara
paling bertakwa, dibantu oleh para aparat pilihan dan sangat bertakwa, memiliki
kapabelitas tinggi dan kemauan kuat untuk mewujudkan cita mulia negara, yakni “Iqaamatu
ad Dien Kaaffah” (menegakkan agama secara total), mewujudkan kesejahteraan
agama, jiwa, akal keturunan dan harta kekayaan rakyat.
Dari uniknya, negara ini tidak
dibatasi oleh batasan territorial geografis atau demografis, bahkan etnis. Maka
otonominya sangat spesifik Rabbani, dibangun di atas landasan prinsip; Otonomi
Akidah, Otonomi Syari`ah, Otonomi Ihsan dan Otonomi Ilmu Pengetahuan.
Sumber yuridis otonominya
adalah Al Qur`an, Sunnah Praksis (Secred Legal Way) Rasulullah saw dan Ijtihad.
Aplikasi praksis prinsip prinsip
ini telah berhasil diejawantahkan dalam bentuk fenomena perilaku real selama
sepuluh tahun pada masa pemerintahan
pendiri pertama Rasulullah saw. Dan menjadi kaedah metodologis praksis yang
wajib diikuti dan dilestarikan oleh generasi kemudian, sebagaimana para salaf
saleh terdahulu dari para Khulafa` Rasyidin berhasil mempertahankan dan
melestarikan tradisi pemerintahan dan Otonomi Nubuwwah ini selama 32 tahun.
Sebagai sebuah kebenaran ilmu
mengapa tidak banyak para pakar akademisi hukum kita yang tertarik untuk
membedah kembali kaedah kaedah kebenaran ilmu Pemerintahan Negara Islam ini dan
mengembangkan aspek aspek ontologinya sebagai upaya pengayaan terhadap muatan
maknawiyah (spirit) epistemologi pembangunan Negara Islam kembali ke ruang alam
real aksiologi publik ummat komunal kontemporer yang utuh dan kaafah.
Adalah suatu permasalahan besar
yang harus diselesaikan oleh para komunitas peneliti dan pengembang hukum kita.
Betapa sangat mendesak urgensi mengangkat kembali topik ini ke dalam dunia
penelitian akademik sebagai upaya pengembangan hukum di seputar sistem otonomi
atau aturan Hubungan Pusat dan Daerah dalam pemerintahan Negara Islam hingga
pada dimensi aplikatif praksis aksiologi. Sudah saatnya Ummat ini berupaya
semaksimal mungkin membangun kembali simpul pertemuan yang tegas antara Otonomi
Pemerintahan Negara Islam masa Khilafah Rasyidah dan Pemerintahan Negara Negara
Islam Kontemporer, khususnya Negara Negara Islam yang tergabung dalam
keanggotaan Organisassi Kerjasama Islam ( منظمة التعاون الإسلامي ), Organisasi Kesatuan Dunia Islam ( منظمة رابطة العالم
الإسلامي )
dan Bank Pembangunan Dunia Islam (البنك الإسلامي للتنمية ) yang Nampak masih sangat jauh senjang
dari poros paradigmanya.
Permasalahan Hukum Tata Negara
Islam dewasa ini mutlak memerlukan para pakar hukum peneliti mumpuni yang mampu menemukan solusi
hukum praktis back to basic paradigmanya tanpa harus meninggalkan temuan temuan
hukum moderen bersifat konstruktif, tapi tidak pula menggusur kaedah kaedah
kebenaran mutlak hukum Rabbani yang bersifat
final abadi dan murni.
Masih dalam dimensi kaedah
kebenaran ilmu, secara ontology otonomi pemerintah Negara Islam masa Khilafah
Rasyidah telah diakui sebagai sebuah paradigma Negara Islam panutan setelah
paradigma Negara Islam pertama masa Khilafah Ilahiyah
Nabawiyah.(Muslim,Shahih2/504).
Secara lebih spesifik, mendesak
sekali diperlukan lahirnya produk produk penelitian akademik yang tuntas
mengelaborasi dan mengeksplorasi temuan temuan deduktif dan induktif sejarah
praksis otonomi dan aturan hubungan pusat dan daerah dalam pemerintahan masa
Khilafah Rasyidah, sehingga diharapkan di arena aksiologi kontemporer anak anak
generasi Ummat ini mampu menemukan
bahkan membangun kembali simpul pertemuan simbio mutual akademik antara real
basic praksis penyelenggaraan otonomi pada masa pemerintahan Khilafah Rasyidah
dan dalam real aktual praksis penyelenggaraan otonomi pada Negara Negara Islam
Kontemporer.
Dan yang lebih mendesak lagi,
anak anak generasi kontemporer Ummat ini dituntut memiliki keterampilan
aestetik akademik dalam melakukan identifikasi masalah otonomi murni untuk
dapat diakui sebagai sebuah kaedah kebenaran ilmu dan dapat diaplikasikan
sesegera mungkin dalam real kepemimpinan gelobal Ummat Muslim Komunal Kontemporer,
yang saat ini terkapling dalam berbagai kepentingan geo-ekosistemik; geoetnik,
geopolitik, geoekonomi dan lain lain, seakan akan semua itu telah meletakkan mereka tidak hanya pada letak
geografis yang jauh dari otonomi pemerintahan Ibu Kota Sucinya Pertama Madinah
Munawwarah, sebagai Ibu Kota Suci Kedaulatan Negara Islam masa masa pertama.
Untuk lebih sederhananya,
mungkin perlu meletakkan rumus rumus pertanyaan akademik, agar masing masing anak
anak Ummat ini dapat melakukan interaksi aktif dengan kaedah kaedah akademik
yang telah ditawarkan di atas, kira kira :
1.
Apa dasar
dasar aksiologi hukum otonomi yang berlangsung dalam pemerintahan Negara Islam Madinah masa
Khilafah Rasyidah?
2.
Bagaimana
pola pengembangan epistemology sehingga dapat memimpin dan mengontrol setiap
perubahan maju laju aksiologi, terutama dalam penyelenggaraan hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang tergabung dalam eko system
kedaulatannya?
3.
Mengapa para
akademisi harus menemukan pola hukum potisitif kongkirt yang mampu merajut
kembali Negara Negara Islam Kontemporer dan bersatu kembali menjadi satu
kesatuan Ummah Wahidah dalam ruang publik raya alam semesta ini di atas prinsip
prinsip otonomi pemerintahan Negara Islam Madinah?
Demikian, semoga dalam petualangan
elaborasi dan eksplorasi untuk menemukan
jawaban atas pertanyaan pertanyaan akademik nanti akan senantiasa disertai
Allah, dibimbing kepada ta`at dana pa yang dicintaiNya, dan memastikan dalam
kebenaran pijak langkah hanya untuk kebaikan Islam dan Ummat Islam serta alam
semesta. Amien ya Rabbal `aalamien.
Yogyakarta, Kamis 28 Januari 2016M.