Selasa, 06 Oktober 2015

KELUARGA SAKINAH REAL PARADIGMA EKO-POLICY TRANSENDEN-KONTINENTAL DALAM PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP KONTEMPORER



KELUARGA SAKINAH
REAL PARADIGMA EKO-POLICY TRANSENDEN-KONTINENTAL
DALAM PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP KONTEMPORER

              Topik lingkungan hidup memiliki nuansa sangat luas melintasi berbagai sektor kehidupan. Untuk menyentuh permasalahan lingkungan hidup kontemporer para pakar keilmuan di bidang ini telah berusaha membuat beberapa landasan pemikiran  di seputar hal hal yang memicu timbulnya  permasalahan.
              Setidaknya ada 4 macam sumber permasalahan paling krusial, yaitu:
Permasalahan populasi, polusi, poverty (kemiskinan dan kemelaratan) dan policy ( kebijaksanaan politik/pemerintah).
              Keempat permasalahan tersebut, dalam kaitannya dengan komunitas keluarga sebagai bagian kelompok terkecil dalam instrumen dasar kelompok besar bangunan masyarakat, ada sebuah pertanyaan mikroskopik umum bersifat akademik :
1.     Adakah teori hukum yang mampu menyuguhkan solusi alternatif bagi aspek hidup permasalahan lingkungan hidup kontemporer?
2.     Apa langgam paradigma dan peran keluarga sakinah dalam pembangunan lingkungan hidup?
               Kedua pertanyaan akademik di atas cukup menggelitik jiwa jiwa analis korektif untuk memperoleh gambaran objektif tentang berbagai fenomena permasalahan lingkungan hidup, dalam keadaan biasa atau luar biasa (force majeur), serta rasionalitas impac eko-interaktif perangkat perangkat hukum, dan kebijakan politik hukum, dengan keempat sumber permasalahan hukum di atas. Lebih urgen lagi, transparansi real aksiologi Keluarga Sakinah sebagai paradigma dalam eko-interaksinya dengan pembangunan Lingkungan Hidup.
              Sentuhan sentuhan legal formal wahyu Al Qur`an menjadi sumber kekuatan suprem legal policy Sunnah Nabawiyah sebagai poros eko-interaksi Keluarga Sakinah dengan Pembangunan Lingkungan Hidupnya.
              Dalam legal policy Sunnah Nabawiyah, fenomena populasi merupakan aset kebanggaan Pemimpin Besar Rasulullah saw untuk kejayaan masa depan Ummat Basar, bukan problem dalam pembangunan ekosistem lingkungan hidupnya.[1]
             Sementara permasalahan polusi, adalah impact buruk dari perbuatan kontra produktif tangan manusia[2], melawan ketentuan legal formal wahyu Allah swt yang membahayakan tidak hanya diri sendiri tapi juga lingkungan social[3]. Lagi pula tindakan tersebut adalah tindakan berlebihan[4], dan termasuk mengikuti jejak setan[5].
               Masalah poverty, telah jelas konsep negara dalam hal ini adalah menegakkan Al Qur`an dan Sunnah sebagai poros legal dasar utama ekologi kelompok Masyarakat Muslim dalam mencapai kesejahteraan yang diridloi Allah swt.[6]
               Maka bila policy kebijaksanaan pemerintah konsisten pada poros legal ekologinya keempat problem krusial dalam pembangunan lingkungan hidup tersebut berarti telah menemukan jalan keluarnya yang tepat.
               Upaya pendekatan terhadap fenomena lingkungan yang selalu merangsang munculnya berbagai permasalahan hukum dan sosial mutlak memerlukan metode pendekatan ilmu yang tepat, agar mampu mengidentifikasi kasus kasus di seputar lingkungan seobjektif mungkin dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai kaedah kebenaran ilmu.
              Metode pendekatan ilmu yang lazim digunakan kalangan ulama ahli ilmu pengetahuan Islam untuk mengidentifikasi kasus kasus yang berkembang di ranah lingkungan hidup secara objektif valid adalah metode “tabayyun”(accertainty)[7]. Metode ini ditetapkan oleh Allah swt sebagai landasan yuridis ilmu transendental, mengakar pada kebenaran mutlak suprem. Karenanya seorang Muslim tidak dibenarkan mengikuti sesuatu tanpa dasar ilmu:
              “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu    
               mengetahuinya sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati   
               semuanya akan dimintai pertanggungjawaban”.[8]
              Dengan eko-interaksi secara sirkel yang tepat terhadap permasalahan lingkungan hidup insya Allah metode ilmu ini akan mampu melahirkan produk Konfigurasi Tatanan sosial Masyarakat Muslim yang sejahtera dan diridloi Allah swt.
Kembali ke Asas Rumah Tangga Sakinah
Sebagai Langgam Paradigma Lingkungan Hidup Masyarakat Muslim Rabbani
             Adalah fitrah wanita bila ia hidup lebih mendahulukan perasaannya bukan akalnya. Karena fitrah inilah wanita menyenangi hal hal romantis, lalu Islam mengarahkan kecenderungan fitrah romantisme ini agar tidak dieksploitasi secara liberal. Maka lahirlah legal jurisprudensi Islam yang   menetapkan agar wanita menutup auratnya, sebagai bagian dari dirinya yang paling romantis.
               Karena fitrah perasaan romantis itu pula emosional intelegensinya lebih aktif dari pada intelektual intelegensinya. Tak pelak sebagian besar komunitas ulama berani mengeluarkan statement bahwa wanita itu pada umumnya kurang akal sehingga tidak mungkin memegang urusan yang memerlukan ketetapan dan stabilitas keseimbangan.
              Bukti di lapangan merupakan suatu indikator paling objektif, ketika wanita dewasa ini dirong rong atau diobok obok untuk menuntut kesamaan hak dengan laki laki dalam segala bidang. Fitrah yang memang peka itu, terutama bagi yang loyalitas agamanya kurang dapat dipertaruhkan, bekerja aktif melebihi batas dimensi otoritas intelektual intelegensinya, menampilkan bagian bagian anggota tubuhnya yang romantis atau dibungkus ketat menampakkan lekuk tubuh aslinya. Bahkan ada yang lebih liberal lagi dengan menelanjangi bagian bagian yag harus ditutupi.
             Menuntut hak semacam ini sebenarnya tidak hanya ada di negara non-Muslim yang cenderung mengantarkan anak anak negara pada kebebasan bersikap dan bertindak porno, bahkan melakukan bebas sex dan membudidayakannya didepan mata orang banyak secara terang terangan tanpa layar. Celakanya negara yang mayoritas penduduknya Muslim turut pula mengimpor budaya budaya dosa semaca ini, dan perangkat legal policy negaranyapun adalah mereka yang suka mabuk romantisme.
             Pada masa pemerintahan negara Islam pertama, wanita menuntut hak bukannya tidak ada. Tapi legal policy pemerintah yang saat itu  dipimpin Rasulullah saw meregulasi aturan hak hak individu dan sosial yang suprem dan tegas sesuai fitrah dan kecenderungan dalam bingkai konstitusi dan undang undang  kepatuhan dan ketaatan hukum.
             Adalah kasus Khaulan binti Tsa`labah yang didhihar suaminya, seperti yang berlaku dalam pranata hukum Jahiliyah. Wanita yang didhihar suaminya masa itu nasibnya sama seperti orang orang jompo sekarang di negara  negara non-Muslim, dibiarkan saja berjalan ke mana mana seperti anjing, mengganggu kelestarian lingkungan hidup.
             Pemerintah negara Islam telah memberikan kepada wanita kedudukan dan hak hak legal policy yang adil, segala apa yang dikerjakan diberi reward, balasan sesuai kemampuannya sebagaimana halnya laki laki.
             Masalah wanita memang telah banyak mendapat perhatian besar, karena hal ini menyangkut prinsip dasar konstitusional sistem Kelompok Masyarakat Negara. Peran kunci wanita adalah mempertahankan dan membangun Bangunan Rumah Tangga Sakinah sebagai ekosistem dasar.
            Sebuah komunitas Rumah Tangga Sakinah yang utama dapat dibangun melalui beberapa proses tahapan dasar:
            Proses pemilihan isteri yang baik, atas dasar agama dan akhlaq; “Maka dahulukanlah wanita yang beragama, niscaya kamu bahagia”. [9]
            Sementara kecantikan, harta, kedudukan dan peradaban, jika memang dimiliki bila tidak ada larangan. Alangkah indahnya agama dan dunia bila dapat dimiliki semua. Tapi pilihan kecantikan tidaklah menjadi jaminan kesuksesan rumah tangga sakinah; “Demi Allah, tidaklah kamu beriman hingga hawa nafsunya patuh dan taat mengikuti ajaran yang saya bawa”. [10]
             Proses selanjutnya adalah meyakinkan dan memantapkan pilihan dengan cara melihat wajah dan telapak tangannya atau tumitnya. Tiga daerah inilah batasan wilayah yang boleh dilihat sesuai tuntunan dasar aksiologi hukum ajaran agama Islam.
            Tidak ada paksaan dalam Islam, bagi calon dari kedua belah pihak diberi kebabasan memilih antara menerima dan menolak.
            Sebagian komunitas ulama ada yang memandang perlunya kufu`, kesetaraan dalam keahlian dan kecukupan harta, kedudukan, keturunan dan agama.
            Sementara masalah ekonomi, Allah tidak memerlukannya, bahkan Allah akan mengayakannya, tentu dengan syarat taqwa.[11]                
              
                                                         __________________


[1] Qur`an Kariem, Surat al Hadid 57/20 , dan Hadist An Nasa`ie, As Sunan Al Kubro 5323/5/160. Dan Dr.Shubhi Shalih, Ma`alim as syari`ah hlm202. Daar Al `Ilm Lil Malayin, Beirut 1982.
[2] Qur`an Kariem, Surat Ar Rum 30/41
[3] Qur`an Kariem, Surat Al A`raf 7/33
[4] Qur`an Kariem Surat Al An`am 6/141
[5] Qur`an Kariem Surat Al An`am 6/142
[6] Qur`an Kariem Surat Al Hadid 57/25
[7] Metode ini umum dipakai bila permasalahan lingkungan bersumber dari kasus yang mengakar pada informasi   pelaku pelaku dosa, bukan dari Muslim Thiqoh, atau terpercaya.
[8] Qur`an Kariem Surat Al Hujurat 49/6 dan Yusuf ali, The Holy Qur`an hlm 1589
[9] Sunnah Nabawiyah Muthahharah, Bukhari Shahih no. 5090/7/9
[10] Sunnah Nabawiyah Muthahharah, Bukhari Shahih no. 96/1/46
[11] Imam Hasan Al Banna, Hadist Ast Tsulatsa`, Maktabah Al Qur`an, Kairo hlm 405, dan Al Qur`an Al Kariem At Taubah 9/28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar