KELUARGA SAKINAH
REAL PARADIGMA
EKO-POLICY TRANSENDEN-KONTINENTAL
DALAM PEMBANGUNAN
LINGKUNGAN HIDUP KONTEMPORER
Topik lingkungan hidup memiliki
nuansa sangat luas melintasi berbagai sektor kehidupan. Untuk menyentuh
permasalahan lingkungan hidup kontemporer para pakar keilmuan di bidang ini
telah berusaha membuat beberapa landasan pemikiran di seputar hal hal yang memicu timbulnya permasalahan.
Setidaknya ada 4 macam sumber
permasalahan paling krusial, yaitu:
Permasalahan
populasi, polusi, poverty (kemiskinan dan kemelaratan) dan policy (
kebijaksanaan politik/pemerintah).
Keempat permasalahan tersebut, dalam
kaitannya dengan komunitas keluarga sebagai bagian kelompok terkecil dalam
instrumen dasar kelompok besar bangunan masyarakat, ada sebuah pertanyaan
mikroskopik umum bersifat akademik :
1.
Adakah teori hukum yang mampu menyuguhkan solusi alternatif bagi aspek
hidup permasalahan lingkungan hidup kontemporer?
2.
Apa langgam paradigma dan peran keluarga sakinah dalam pembangunan
lingkungan hidup?
Kedua pertanyaan akademik di
atas cukup menggelitik jiwa jiwa analis korektif untuk memperoleh gambaran
objektif tentang berbagai fenomena permasalahan lingkungan hidup, dalam keadaan
biasa atau luar biasa (force majeur), serta rasionalitas impac eko-interaktif
perangkat perangkat hukum, dan kebijakan politik hukum, dengan keempat sumber
permasalahan hukum di atas. Lebih urgen lagi, transparansi real aksiologi
Keluarga Sakinah sebagai paradigma dalam eko-interaksinya dengan pembangunan
Lingkungan Hidup.
Sentuhan sentuhan legal formal
wahyu Al Qur`an menjadi sumber kekuatan suprem legal policy Sunnah Nabawiyah
sebagai poros eko-interaksi Keluarga Sakinah dengan Pembangunan Lingkungan
Hidupnya.
Dalam legal policy Sunnah Nabawiyah, fenomena populasi
merupakan aset kebanggaan Pemimpin Besar Rasulullah saw untuk kejayaan masa depan Ummat Basar, bukan problem dalam pembangunan ekosistem lingkungan
hidupnya.[1]
Sementara permasalahan polusi, adalah impact buruk dari
perbuatan kontra produktif tangan manusia[2],
melawan ketentuan legal formal wahyu Allah swt yang membahayakan tidak hanya
diri sendiri tapi juga lingkungan social[3].
Lagi pula tindakan tersebut adalah tindakan berlebihan[4],
dan termasuk mengikuti jejak setan[5].
Masalah poverty, telah jelas
konsep negara dalam hal ini adalah menegakkan Al Qur`an dan Sunnah sebagai
poros legal dasar utama ekologi kelompok Masyarakat Muslim dalam mencapai
kesejahteraan yang diridloi Allah swt.[6]
Maka bila policy kebijaksanaan
pemerintah konsisten pada poros legal ekologinya keempat problem krusial dalam
pembangunan lingkungan hidup tersebut berarti telah menemukan jalan keluarnya
yang tepat.
Upaya pendekatan terhadap
fenomena lingkungan yang selalu merangsang munculnya berbagai permasalahan
hukum dan sosial mutlak memerlukan metode pendekatan ilmu yang tepat, agar
mampu mengidentifikasi kasus kasus di seputar lingkungan seobjektif mungkin dan
dapat dipertanggungjawabkan sesuai kaedah kebenaran ilmu.
Metode pendekatan ilmu yang lazim
digunakan kalangan ulama ahli ilmu pengetahuan Islam untuk mengidentifikasi
kasus kasus yang berkembang di ranah lingkungan hidup secara objektif valid
adalah metode “tabayyun”(accertainty)[7].
Metode ini ditetapkan oleh Allah swt sebagai landasan yuridis ilmu
transendental, mengakar pada kebenaran mutlak suprem. Karenanya seorang Muslim
tidak dibenarkan mengikuti sesuatu tanpa dasar ilmu:
“Dan janganlah kamu mengikuti
sesuatu yang tidak kamu
mengetahuinya sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati
semuanya akan dimintai
pertanggungjawaban”.[8]
Dengan eko-interaksi secara
sirkel yang tepat terhadap permasalahan lingkungan hidup insya Allah metode
ilmu ini akan mampu melahirkan produk Konfigurasi Tatanan sosial Masyarakat
Muslim yang sejahtera dan diridloi Allah swt.
Kembali ke Asas
Rumah Tangga Sakinah
Sebagai Langgam
Paradigma Lingkungan Hidup Masyarakat Muslim Rabbani
Adalah fitrah wanita bila ia hidup
lebih mendahulukan perasaannya bukan akalnya. Karena fitrah inilah wanita
menyenangi hal hal romantis, lalu Islam mengarahkan kecenderungan fitrah
romantisme ini agar tidak dieksploitasi secara liberal. Maka lahirlah legal
jurisprudensi Islam yang menetapkan
agar wanita menutup auratnya, sebagai bagian dari dirinya yang paling romantis.
Karena fitrah perasaan romantis
itu pula emosional intelegensinya lebih aktif dari pada intelektual intelegensinya.
Tak pelak sebagian besar komunitas ulama berani mengeluarkan statement bahwa
wanita itu pada umumnya kurang akal sehingga tidak mungkin memegang urusan yang
memerlukan ketetapan dan stabilitas keseimbangan.
Bukti di lapangan merupakan suatu
indikator paling objektif, ketika wanita dewasa ini dirong rong atau diobok
obok untuk menuntut kesamaan hak dengan laki laki dalam segala bidang. Fitrah
yang memang peka itu, terutama bagi yang loyalitas agamanya kurang dapat
dipertaruhkan, bekerja aktif melebihi batas dimensi otoritas intelektual
intelegensinya, menampilkan bagian bagian anggota tubuhnya yang romantis atau
dibungkus ketat menampakkan lekuk tubuh aslinya. Bahkan ada yang lebih liberal
lagi dengan menelanjangi bagian bagian yag harus ditutupi.
Menuntut hak semacam ini
sebenarnya tidak hanya ada di negara non-Muslim yang cenderung mengantarkan
anak anak negara pada kebebasan bersikap dan bertindak porno, bahkan melakukan
bebas sex dan membudidayakannya didepan mata orang banyak secara terang
terangan tanpa layar. Celakanya negara yang mayoritas penduduknya Muslim turut
pula mengimpor budaya budaya dosa semaca ini, dan perangkat legal policy
negaranyapun adalah mereka yang suka mabuk romantisme.
Pada masa pemerintahan negara
Islam pertama, wanita menuntut hak bukannya tidak ada. Tapi legal policy
pemerintah yang saat itu dipimpin
Rasulullah saw meregulasi aturan hak hak individu dan sosial yang suprem dan
tegas sesuai fitrah dan kecenderungan dalam bingkai konstitusi dan undang
undang kepatuhan dan ketaatan hukum.
Adalah kasus Khaulan binti
Tsa`labah yang didhihar suaminya, seperti yang berlaku dalam pranata hukum
Jahiliyah. Wanita yang didhihar suaminya masa itu nasibnya sama seperti orang
orang jompo sekarang di negara negara
non-Muslim, dibiarkan saja berjalan ke mana mana seperti anjing, mengganggu
kelestarian lingkungan hidup.
Pemerintah negara Islam telah
memberikan kepada wanita kedudukan dan hak hak legal policy yang adil, segala
apa yang dikerjakan diberi reward, balasan sesuai kemampuannya sebagaimana
halnya laki laki.
Masalah wanita memang telah banyak
mendapat perhatian besar, karena hal ini menyangkut prinsip dasar konstitusional
sistem Kelompok Masyarakat Negara. Peran kunci wanita adalah mempertahankan dan
membangun Bangunan Rumah Tangga Sakinah sebagai ekosistem dasar.
Sebuah komunitas Rumah Tangga
Sakinah yang utama dapat dibangun melalui beberapa proses tahapan dasar:
Proses pemilihan isteri yang baik,
atas dasar agama dan akhlaq; “Maka dahulukanlah wanita yang beragama,
niscaya kamu bahagia”. [9]
Sementara kecantikan, harta,
kedudukan dan peradaban, jika memang dimiliki bila tidak ada larangan. Alangkah
indahnya agama dan dunia bila dapat dimiliki semua. Tapi pilihan kecantikan
tidaklah menjadi jaminan kesuksesan rumah tangga sakinah; “Demi Allah,
tidaklah kamu beriman hingga hawa nafsunya patuh dan taat mengikuti ajaran yang
saya bawa”. [10]
Proses selanjutnya adalah
meyakinkan dan memantapkan pilihan dengan cara melihat wajah dan telapak
tangannya atau tumitnya. Tiga daerah inilah batasan wilayah yang boleh dilihat
sesuai tuntunan dasar aksiologi hukum ajaran agama Islam.
Tidak ada paksaan dalam Islam, bagi calon dari kedua belah pihak diberi
kebabasan memilih antara menerima dan menolak.
Sebagian komunitas ulama ada yang
memandang perlunya kufu`, kesetaraan dalam keahlian dan kecukupan harta,
kedudukan, keturunan dan agama.
Sementara masalah ekonomi, Allah
tidak memerlukannya, bahkan Allah akan mengayakannya, tentu dengan syarat
taqwa.[11]
__________________
[1] Qur`an Kariem, Surat al Hadid 57/20 , dan Hadist An
Nasa`ie, As Sunan Al Kubro 5323/5/160. Dan Dr.Shubhi Shalih, Ma`alim as
syari`ah hlm202. Daar Al `Ilm Lil Malayin, Beirut 1982.
[2] Qur`an Kariem, Surat Ar Rum 30/41
[3] Qur`an Kariem, Surat Al A`raf 7/33
[4] Qur`an Kariem Surat Al An`am 6/141
[5] Qur`an Kariem Surat Al An`am 6/142
[6] Qur`an Kariem Surat Al Hadid 57/25
[7] Metode ini
umum dipakai bila permasalahan lingkungan bersumber dari kasus yang mengakar
pada informasi pelaku pelaku dosa,
bukan dari Muslim Thiqoh, atau terpercaya.
[8] Qur`an
Kariem Surat Al Hujurat 49/6 dan Yusuf ali, The Holy Qur`an hlm 1589
[9] Sunnah
Nabawiyah Muthahharah, Bukhari Shahih no. 5090/7/9
[10] Sunnah
Nabawiyah Muthahharah, Bukhari Shahih no. 96/1/46
[11] Imam
Hasan Al Banna, Hadist Ast Tsulatsa`, Maktabah Al Qur`an, Kairo hlm 405, dan Al
Qur`an Al Kariem At Taubah 9/28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar