Melihat perkembangan fenomena yang
ada nampaknya hokum dalam perjalanan sejarahnya selama dua periode Orde lama
dan Orde baru senantiasa menjadi bahan eksploitasi kebebasn politik tertentu,
direkeyasa dan diproduksi untuk membenarkan dan melindungi kejahatan politik
memperkuat status kekuasaan.
Dihadapan politik yang menampakkan
karakter semakin binal hokum menjadi lumpuh kekurangan zat supreme, walaupun
sebenarnya hukum itu sudah digodok dan diolah sedemikian rupa oleh lembaga
lembaga atau institusi yang ada. Bahkan produk hokum yang lahir dari lembaga
lembaga tersebut tak lebih dari kerangka undang undang, yang hanya dengan zat
suprem relatif ditampilkan untuk
bergulat membendung ambisi kuasa politik yang spektakuler, hingga pada masanya
hokum mengalami anomali, supremasinya biasa menimbulkan implikasi krisis dimana
mana.
Dewasa ini dialam terbuka
demokrasi hukum diharapkan mampu menghirup udara baru
menambah muatan zat zat suprem murni dari sumber utama supremasi ke-Esaan
hokum Rabbani yang selama ini masih kristal didalam dasar Sila ketuhanan
yang Maha Esa dan belum mengalir menjiwai hokum dan perundang undangan yang
berlaku.
Untuk mengisi dan menyempurnakan hukum atau perundang undangan yang ada, adalah tugas amandemen menjawab
beberapa pertanyaan akademik untuk memberikan gambaran deskriptif tentang supremasi
Murni yang selama ini masih kristal menjadi muatan sila Ketuhanan Yang
Maha Esa , agar dapat dikaji dan ditemukan solusi permasalahannya serta
memenuhi jawaban pertanyaan akademik berikut:
1. Bagaimanakah
gambaran nilai nilai supreme Ke-Esaan sila Ketuhanan Yang Maha
Esa yang akan menjadi bobot isi undang undang yang diamandemen?
2. Apakah
amandemen mampu berpijak kokoh pada garis supreme murni dalam melakukan kaji konstruktif dan mengisi
undang undang yang memerlukan penyegaran kembali?
Untuk
menjawab pertanyaan akademik ini kita perlu teori :
1. Menguak kembali
akar akar konstitusi guna mengklarifikasi sumber sumber supremasi yang menyerap
kedalam konstitusi, mengingat penjelasan yang ada sekarang telah mengacaukan pemahaman tentang substansi
konstitusi. Ambil saja sebagai contoh; pokok pikiran keempat yang terkandung
dalam “pembukaan” menjelaskan :
“ialah Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab”.[1]
Ungkapan
menurut dasar kemanusiaan lebih tepat diganti dengan untuk
maslahat kemanusiaan, sehingga tidak meretas ideologi yang mengatas
namakan atau melahirkan arogansi dan pelecehan terhadap hak hak Tuhan.
2. Meluruskan
orientasi amandemen dengan :
a. Membangun
amandemen diatas landasan kokoh sumber supremasi murni Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Mengalirkan
Supremasi Murni kedalam Konstitusi, Undang undang dan Peraturan peraturan
dibawahnya.
Ada
anggapan bahwa Indonesia
adalah Negara Hukum (Rechtstaat)[2].
Untuk mendukung bahwa Indonesia adalah Negara hokum yang berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa[3]
maka Konstitusi ini harus diletakkan
pada level puncak pyramid yang menjiwai dan mengisi seluruh unsure
konstruksi pada level dibawahnya , mulai dari; Pembukaan UUD 45 itu sendiri ,
Batang Tubuh UUD 45, Tap MPR, Hukum
Dasar tak tertulis, Undang Undang, Peraturan Pelaksanaan dan peraturan otonom
dll.[4]
Meminjam metode sains Thomas Kuhn,
ia membangun Filsafat Ilmu diatas dasar Sejarah Ilmu yang bergerak secara
structural berevolusi menuju Filsafat Ilmu Baru. Sehingga penyajiannya bersifat
deskriptif hermenutik, menerangkan tentang filosofi Konstitusi dalam
perjalanan sejarahnya hingga lahirnya kebutuhan mendesak pada Amandemen sebagai
fasilitas menambah lancip supremasi bobot undang undang dan hokum yang berlaku
melalui proses check and balancing pada utilitas dan efektifitas sila Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Dengan memanfaatkan bahan literer yang ada penulis akan mencoba
menganalisis melalui dua variable:
1. Konstitusi sebagai variable tetap
2. Nilai Nilai Dasar
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai variable terpengaruh.
Mengikuti konstruksi konsep Thomas S. Kuhn
penulis akan enetapkan sebuah Paradigma Tunggal, yakni UUD 45 sebagai
Konstitusi, untuk dijadikan Srntral Analisa segala
macam sorotan yang akan menjajaki bobot supreme Konstitusi tersebut.
Bila ternyata paradigma
tunggal gagal karea mengalami anomali dan menimbulkan banyak krisis,
maka paradigma tandingan dapat dihadirkan sebagai alternative pengganti, atau
kembali ke ilmu lama dengan melakukan yudicial review yakni menjelaskan ulang.
Indikator yang dipergunakan
untuk variable Konstitusi ialah teks Pembukaan UUD 1945, tingkat akseptabelitas
anak anak bangsa terhadap konstitusi, dan kesenyawaan konstitusi dengan undang
undang pada level dibawahnya.
Sementara indicator nilai
nilai dasar sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Kalam SuciNya, dan bukti bukti
rasional yang menunjukkan pada ke-EsaanNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar