Secara
etimologis, konstitusi berasal dari “Constituer”(bahasa prancis) berarti
membentuk. Maksudnya ialah membentuk suatu Negara, atau menyusun dan
menyatakan suatu Negara.[1]
Dengan kata lain; ialah segala ketentuan dan aturan mengenai
ketatanegaraan[2]
Secara
yuridis, konstitusi ialah sesuatu naskah yang memuat suatu bangunan Negara dan
sendi sendi system pemerinthan Negara.[3]
Mendukung
pendapat Mr.JG.Steenbeek, Sri Soemantri menyatakan bahwaa ada tiga macam materi
muatan yang bersifat pokok dalam konstitusi, yaitu:
1. Jaminan
terhadap hak hak asasi (dan kewajiban kewajiban asasi) manusia dan warga
Negara.
2. Susunan
kartanegera yang bersifat mendasar
3. penbagian dan
penbatasan tugas ketetanegaraan yang juga bersifat mendasar.
Lebih
simpel lagi C.F,Strong menyatakan bahwa konstitusi sebagai asas, mengatur tiga
hal:
1. Kekuasaan
pemerintah(dalam arti luas)
2. Hak hak yang
diperintahkan
3. Hubungan antara
yang diperintah dan yang memerintah.[4]
Tidak
jauh dari pernyataan diatas adalah penegasan seorang tokoh Reformasi Dakwah
Islam Al-Banna,bahwa perumusan dakwah perundang undangan Negara Islam meliputi
tiga landasan utama:
1. Tanggun jawab
amanat penguasa
2. Kesatuan anak
anak masyarakat ummat
3. Menghormati hak
hak asasi mereka.[5]
Tegasnya,
konstitusi adalah suatu ketetapan legal tentang pola bangunan suatu Negara
meliputi sendi sendi aturan pemerintahan Negara, tertulis yang tak tertulis,
bersifat elastis dan terbuka. Demikian yang dapat penulis tangkap dari sekian
banyak pendapat pakar.
Dalam
tradisi ilmiah konstitusi juga disebut undang undang dasar(Grondwet), walaupun
sebagian pakar seperti L.J.Van Apeldoorn, membatasi undang undang pada bagian
tertulis dari suatu konstitusi, sementara konstitusi memuat peraturan tertulis
dan yang tak tertulis[6].
Dalam
Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pada bagian pembukaan
ditegaskan bahwa; “Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia” dibangun dalam
bingkai bingkai undang undang Dasar Negara Indonesia bebentuk Republik, sebagai
pengejawan tahan Kedaulatan Rakyat yang berdasarkan kepada Ketuhanan yang
Maha Esa dst.(pancasila).
Lima
puluh lima tahun sudah Bangunan Kemerdekaan Bangsa Indonesia tegak
diatas landsan sila Ketuhanan yang Maha Esa, namun dalam perjalan
sejarahnya bangsa ini nampak belum maksimal dalam mengelaborasi nilai nilai Esa
ketuhanan ini, Sebagai Grundnorm, kedalam sila silayang lain, undang
undang dasar dan bahkan peraturan peraturan yang ditetapkan ,enjadi bingkai
kehendak politik rakyat.
Antara
tahun 1959-1966 politik pemerintah penyelenggara kedaulatan rakyat sempat
melenceng keluar orbit memasuki zona otoriterisme dalam selimut Demokrasi
terpimpin. Pelanggaran atas UUD 1945 dilakukan secara terang terangan, presiden
tidak mau mendengar suara DPR-GR mengeluarkan hokum secara sepihak, partai
partai dibuat lemah kecuali partai komunis Indonesia(PKI), pers dibredel dan
lawan politik dipenjarakan tanpa proses hokum.1[7]
Pada
tahun 1966-1998 amanat kedaulatan rakyat dikemas dalam konfigurasi politik Orde
baru, mengajak anak anak bangsa kepada asas murni pancasila dan UUD 45 secara
konsekwen. Namun suasana baru itu cepat sekali layu dan lekang dibawah landasn
tuhan tuhan hawa nafsu yang memaksa para penguasa penyelenggara pemerintahan
banting haluan menatapi gemerlap kemegahan perekonomian dunia Liberal dalam
kesima menenggan obsesi.
Diawali
dengan lahirnya UU NO.15 dan UU NO.16 tahun 1969 hingga terselenggaranya pemilu
1971:
“Kehidupan politik menjadi benar benar tidak demokratis.
Pemilu dilaksanakan secara curang, pers tidak bebas dan diancam dengan
pembredelan, semua organisasi politik dan ormas dikooptasi melalui jaringan
koorporatis yang sengaja dibangun untuk mengutkan control Negara atas kekuatan
masyarakat”.[8]
Dengan
temeng undang undang tersebut mereka benar benar mencapai obsesi, untuk
beberapa tahun mereka diberi kesempatan bersenang senang, berkonco,membangun
status quo dan menghimpun kekayaan hingga pada saatnya
Tuhan yang Maha Esa menetapkan:
“Bagaimana pendapatmu jika kamu berikan kepada
mereka kenikmatan hidup beberapa tahun, kemudian datang kepada mereka adzab
yang telah diancamkan kepada mereka, niscaya tidak berguna lagi bagi mereka apa
yang mereka selalu menikmatinya, dan Kami tidak membinasakan suatu negeripun
melainkan sesudah ada baginya orang orang yang memberi peringatan untuk
dijadikan pemikiran. Dan Kami sekali kali tidak berlaku dzalim”.[9]
Kedudukan
yuridis filosofis konstitusi sebuah Negara
Secara
Ontologis Konstitusi sebuah Negara memiliki nilai Norma Fundamental dan
bersifat Regulatif, maka konstitusi Negara Indonesia yang tertuang dalam undang
undang Dasar 1945 harus mampu mengisi norma norma hukum bawahannya secara berjenjang. Norma hukum yamg dibawah
terbentuk berdasar dan bersumber pada norma hukum yang lebih
tinggi, sehingga tidak terjadi pertentangan antara norma hukum yang lebih tinggi dan yang
lebih renda, demikian sebaliknya. Pola piramida konstitusi sebagai
sumber tertib hukum seperti ini telah benyak
dikembangkan dlam wacana keilmuan dan profesi oleh banyak pakr seperti;
Notonegoro, At Tamimi, Nawiasky, Kelsen dan lain lain.[10]
Indonesia, menurut penegasan yurdis formal
UUD 1945 BabXI pasal 29, adalah negara berdasar atas ketuhanan yang
Maha Esa. Mengikuti orientasi Ontologis Attamimi Nilai Suprem Ketuhanan
yang termuat dalam ketuhanan yang Maha Esa harus mengisi dan menjadi bobot
pembukaan 1945, Batang tubuh UUD 1945, TAP MPR, Hukum dasarb tak tertulis,
undang undang, peraturan pelaksanaan dan peraturan Otonom dan lain lain.
Dalam
teori Kelsen, norma norma hukum yang berjenjang membentuk sebuah
pyramid(stufenbau dan Recht), mulai dari; Grundnorm Norma norma
konstitusional(Hukum positif), Undang undang Organik, Norma norma yang
mendapatkan kewenangan berdasarkan tingkat ketiga, lalu tingkat n
sebagai tingkat terendah dalam teori Kelsen.(lihat bagan I dan II).
[1] H.Dahlan Thaib, SH.,MSi. Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan
Konstitusi, hlm 14 Liberty Yogyakarta
1999.
[2] W.J.S.Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia
Balai Pustaka Jakarta
1984
[3] H.Dahlan Thaib, SH.,MSi. Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan
Konstitusi, hlm 14 Liberty Yogyakarta
1999.
[4] Ibid halaman 16 -17
[5] Al Imam As Syahid Hasan Al Banna, Majmu’at Rasail. Al Muassasah Al
Islamiyah Beirut ed.III tahun 1984 halaman 318
[6] H.Dahlan Thaib, SH.,MSi. Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan
Konstitusi, hlm 14 Liberty Yogyakarta
1999.
[7] Dr.Moh.Mahfud MD, Amandemen Menuju Reformasi Tata Negara. UII Press
Yogyakarta Tahun 1999 halaman 40
[8] Ibid halaman 41
[9] Al Qur’an Surat As Syu’ara’ (26) ayat 205-209
[10] [10] Dr.Suyadi,SH. Pancasila Sebagai
Sumber Tertib Hukum Indonesia,
halaman 101. Lukman Offset Yogyakarta 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar